Heka Leka & Malessy

Makna Dibalik Nama "HEKA LEKA" dan "MALESSY"

HEKA LEKA

Siwa Lima atau Alifuru di Pulau Seram adalah suatu hukum kekal yang mengatur alam semesta dan perjalanan yang menjadi tujuan manusia. "Heka" berarti : Pemecahan, Pembagian, Perang; "Leka" berarti : Kelahiran, Kelahiran Kembali, kelahiran Baru.

Hukum "Heka Leka" menjelaskan dan membenarkan bahwa di dalam alam semesta, di dalam ruang lingkup hidup masyarakat, di dalam manusia sendiri sudah pasti ada sebuah proses alam yang pasti akan dialami masyarakat yaitu harus "Heka" : perpecahan harus berlangsung terus hingga tercapai puncak titik sublimasi, ketika dimana terjadinya "Leka" : Kelahiran baru.

"Heka Leka" di dalam ruang lingkup masyarakat : Seperti kehidupan leluhur kita berdasarkan sumber sejarah, baik pustaka maupun cerita lisan dari para leluhur bahwa kehidupan masa lampau penuh dengan perkelahian dan perang antara berbagai kelompok sosial masyarakat Seram yaitu kelompok Pata Siwa dan Pata Lima, yang dikenal dengan istilah perang Pata Siwa dan Pata Lima. Gambaran ini jelas bahwa ada perang kemudian membunuh dan dilahirkan kembali.

"Heka Leka" di dalam Alam : Seperti tanaman pokok orang Maluku yaitu Sagu. Batangnya dipotong (dipecah-dibagi) dalam beberapa panggal untuk proses penanaman guna memperoleh tanaman baru, inilah yang disebut ”Heka”. Pada waktu panen adalah pembersihan tempat dan pengambilan isi. Inilah yang disebut “Leka”.

"Heka Leka" dalam manusia : Seperti dalam kehidupan manusia di Pulau Seram, dimana seorang anak lahir dan tumbuh menjadi remaja yang memiliki vitalitas (nafsu) untuk menghadapi tantangan, sentiment (jiwa rasa) dan intellect (mental power) yaitu ingin berkelahi, proses ini disebut “Heka”. Proses inisiasi pengukuhan sebagai Kakehang yaitu sebuah ritual bagi kaum laki- laki di Pulau Seram, dimana seorang remaja lelaki dituntut untuk menjadi seorang lelaki dewasa apabila melewati berbagai aturan yang telah disepakati, seperti diasingkan atau tinggal sendiri dalam hutan selama waktu yang ditentukan dan tidak disediakan makanan. Dia sendiri harus mencari makan untuk hidupnya dan kalaupun berhadapan dengan binatang buas atau manusia yang lain di hutan, dia harus membunuhnya kemudian tubuh dari binatang atau kepala manusia itu harus ditunjukan kepada masyarakat pada waktu dia kembali ke desanya, kemudian masyarakat lewat tokoh-tokoh adat melihat bukti-bukti itu dan secara sah mengukuhkannya sebagai Kakehang. Proses pengukuhan inilah yang disebut “Leka”.

Spirit "Heka Lekadalam dudukan filosofis sejarah adalah inspirasi : Kenyataan bahwa ruang, waktu, media, nilai menjadi frame sejarah. “Heka Leka” sebenarnya dapat ditransformasikan dalam ruang, media, dan nilai yang baru. Dalam ruang modern ini, pendidikan menjadi ruang yang sangat mungkin untuk dikembangkan sebagai sebuah dasar baru pembangunan manusia. Proses-proses sosial masayarakat yang dialami di Maluku dalam ruang, waktu, pun masih senada dengan apa yang terjadi pada masa lalu. Masyarakat Maluku mengalami berbagai proses perpecahan, pembagian, perang (konflik), kesadaran terhadap konflik sebagai sebuah evolusi adalah wajar. Dalam konsep itu dan dari latar belakang Maluku, maka diperlukan sebuah perubahan pasca konflik sebagai sebuah kelahiran baru, kelahiran kembali.

Pendidikan sebagai jaminan masa depan terhadap manusia berpeluang menjadi sebuah media untuk membawa semangat “Heka Leka” sebagai sebuah kelahiran baru bagi masyarakat Maluku. Anak-anak sebagai generasi yang akan melanjutkan perjalanan sejarah kehidupan Masyarakat Maluku ke depan akan berkompeten untuk menjadi ahli waris semangat kelahiran baru itu. Pendidikan menjadi media untuk proses kelahiran kembali yang membawa semangat “Heka Leka” dalam mewujudkan cita-cita, nilai, sikap, dan bahkan masa depan Maluku.

PARA MALESSY

Dalam tradisi tarian yang dipakai para penari Maluku biasanya terdapat "Malessy" sebagai prajurit. "Malessy" dalam paparan sejarah Maluku tidak terlalu banyak diungkapkan, tetapi pada keterbatasan yang didapat ini memberikan sedikit landasan untuk mendasari program "Heka Leka".

“Malessy” atau prajurit merupakan pemaknaan terhadap kondisi realitas sejarah orang-orang Maluku yang siap untuk bertempur di medan peperangan. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, pengertian prajurit dihubungkan dengan militer. Akan tetapi, “Malessy” yang dimaksudkan sebagai prajurit dalam bahasa asli Maluku merupakan pasukan yang dipimpin oleh seorang kapitan yang lebih bersifat adatis.

Pengertian dan intepretasi ini memberikan inspirasi masa kini dengan nilai edukasi untuk melihat peran para pemuda dan masyarakat untuk terlibat sebagai sukarelawan yang aktif dalam melaksanakan berbagai program “Heka Leka” untuk mewujudkan visi Maluku Cerdas. Inspirasi pendidikan bukan saja ada bagi anak didik tetapi tenaga pendidik yang handal juga harus disiapkan. Dengan demikian menyiapkan tenaga pendidik yang handal adalah menyiapkan para “Malessy” atau prajurit yang siap mengabdi.

“Malessy” atau prajurit yang dimaksudkan dalam konteks “Heka Leka” adalah setiap relawan yang terlibat sebagai tenaga pengajar ataupun mereka yang terlibat aktif dalam berbagai kegiatan “Heka Leka”. Mereka ini adalah anak-anak muda yang belajar untuk memahami realita di Maluku dan belajar untuk berpikir kritis, kreatif dan inovatif melakukan sesuatu dari potensi yang ada untuk mengatasi berbagai masalah di Maluku. Mereka inilah yang akan berproses lewat setiap kegiatan dan program yang ada untuk kelak bisa menjadi pemimpin-pemimpin Maluku yang tangguh yang memahami realita di Maluku dan mengerti berbagai pendekatan yang tepat untuk bergerak mendorong masyarakat ikut melakukan sesuatu untuk perubahan di lingkungan mereka. Pemimpin yang belajar dari awal, bertumbuh bersama masyarakat yang benar-benar punya hati untuk membangun Maluku.